Senin, 28 Desember 2015
Sejarah Kab. Enrekang
Asal kata Enrekang
Sedangkan versi lain mengatan bahwa kata ENREKANG
berasal dari bahasa Bugis yang berarti daerah pengunungan. Mengapa orang
bugis mengatakan demikian dapat dimengerti sebab lokasi kabupaten
Enrekang ± 85 % dari seluruh luas wilayah dikelilingi oleh gunung dan
bukit yang membentang disepanjang wilayah kabupaten Enrekang yang
luasnya ± 1.786.01 Km².
Hari Jadi kabupaten Enrekang
Pelantikan Bupati Enrekang yang pertama pada tanggal
19 Pebruari 1960 yang juga menjadi hari terbentuknya DAERAH KABUPATEN
ENREKANG. Berikut nama-nama Bupati yang pernah dan sekarang yang
memerintah di Kabupaten Enrekang :
- Periode 1960 – 1963 dijabat oleh ANDI BABBA MANGOPO
- Periode 1963 – 1964 dijabat oleh M. NUR
- Periode 1964 – 1965 dijabat oleh M. CAHTIF LASINY
- Periode 1965 – 1969 dijabat oleh BAMBANG SOETRESNA
- Periode 1969 – 1971 dijabat oleh ABD. RACHMAN, BA.
- Periode 1971 – …… dijabat oleh Drs. A. PARAWANSA (Pjs.)
- Periode 1971 – 1978 dijabat oleh MUCH. DAUD (± 2 Thn masa non Fictive )
- Periode 1978 – 1983 dijabat oleh H. ABDULLAH DOLLAR, BA.
- Periode 1983 – 1988 dijabat oleh M. SALEH NURDIN AGUNG
- Periode 1988 – 1993 dijabat oleh H. M. AMIN SYAM
- Periode 1993 – 1998 dijabat oleh H. ANDI RACHMAN
- Periode 1998 – 6 Oktober 2003 dijabat oleh Drs. H. IQBAL MUSTAFA
- Wakil Bupati Drs. ZAINI BADAWING
- Periode 2003 – sekarang dijabat oleh Ir. H. LA TINRO LA TUNRUNG
- Wakil Bupati H. MUH. LODY SINDANGAN, SH. M.Si.
- ANDI BABA MANGOPO (merangkap Bupati karena masih DPRD GR) Tahun 1960 – 1963
- ABD. RAHMAN, BA.
- H. ARIFIN ALI
- MAHATMANTONG
- M. JAFAR
- IBRAHIM TAQWA
- H.M. MIEN KAMASE
- JAMALUDDIN TANTI
- M. SALEH NURDIN AGUNG sebagai Ketua dan Wakilnya MAYOR ABDUL LATIF.
- H. ABD. SAMAD MANNAN sebagai Ketua dan Wakilnya MAYOR CHK HUSAIN GANTARAN. SH
- H.M. ALI RAHIM sebagai Ketua dan Wakilnya Drs. MUSTAFA CAWIDU dan LETKOL MUSTAFA BK.
- H. JK. SAWATI (periode 1999 – 2004 )
- Periode 1999 – ….. wakilnya MAYOR CHOIRI
- Periode 1999 – 2004 Wakilnya MAYOR CHOIRI dan H. ACHMAD ANGGORO
- Periode 2004 – 2005 Wakilnya SAFRUDDIN, SH dan H. ACHMAD ANGGORO
- H. AHMAD ANGGOR (periode 2005 sampai sekarang ) wakilnya SAFRUDDIN,SH dan Drs. H. MUSTAKIM
Sebelum terbentuknya menjadi Kabupaten berturut-turut mengalami perubahan bentuk :
-
Menurut sejarah pada mulanya Kabupaten Enrekang adalah merupakan suatu kerajaan besar yang bernama MALEPONG BULAN, yang bersifat MANURUNG terdiri dari 7 kawasann yang lebih dikenal dengan ”PITU MASSENREMPULU” terjadi kira-kira pada abad ke XIV yaitu :
- ENDEKAN
- KASSA
- BATU LAPPA
- DURI
- MAIWA
- LETTA
- BARINGIN
- ENDEKAN
- DURI
- MAIWA
- KASSA
- BATU LAPPA
( Kira – kira abad ke XVII ) Karena Politik Devide At Impera Pemerintah Belanda memecah daerah ini dengan adanya Surat Keputusan dari Perintah Kerajaan Belanda (KORTE VERKLARING ) dimana kerajaan KASSA dan kerajaan BATU LAPPA dimasukkan ke SAWITTO. Ini terjadi ± Tahun 1905 ( abad XX ), sehingga untuk tetap pada keadaan LIMA MASSENREMPULU tersebut, maka kerajaan-kerajaan yang ada didalamnya dipecah sehingga menjadi :- ENDEKAN (Enrekang)
- MAIWA
- ALLA
- BUNTU BATU
- MALUA
Kerajaan pada zaman penjajahan Belanda secara administrasi disebutt LANDSHCAP.
-
Zaman penjajahan Belanda tahun 1012 sampai dengan 1941 berubah kembali menjadi ”ONDER AFDELING” yang dikepalai oleh seorang Kontroleur ( Tuan PETORO ).
-
Zaman Pendudukan Jepang ( 1941 – 1945 ) ONDER AFDELING ENREKANG berubah nama menjadi KANRIKAN, Pemerintahan dikepalai oleh seorang BUNKEM KANRIKAN.
-
Zaman NICA ( NIT 1946 – 27 Desember 1949 ) kembali Kawasan Massenrempulu menjadi ONDER AFDELING ENREKANG.
-
Kemudian sejak tanggal 27 Desember 1949 sampai 1960 Kawasan Massenrempulu berubah menjadi KEWEDANAAN ENREKANG dengan pucuk pimpinan Pemerintahan disebut Kepala Pemerintahan Negeri Enrekang ( KPN ENREKANG ) yang meliputi 5 SWAPRAJA :
- SWAPRAJA ENREKANG
- SWAPRAJA ALLA
- SWAPRAJA BUNTU BATU
- SWAPRAJA MALUA
- SWAPRAJA MAIWA
Tiap Landshcap dipimpin oleh seorang Arung yang di
bantu oleh SULEWATANG dan PABBICARA ARUNG LILI tetapi kebijaksanaan
tetap ditangan Belanda sebagai pegawas (KONTROLEUR).
- ABDUL HAKIM
- ABDUL RAHMAN, BA.
- ABDUL MADJID PATTAROPURA
- NUHUNG
- A T J O
Yang menjadi catatan atau lembaran sejarah, bahwa
dalam perjuangan atau pembentukan Kewadanaan Enrekang ( 5 SWAPRAJA)
menjadi DASWATI II / DAERAH SWANTARA TINGKAT II ENREKANG atau KABUPATEN
MASSENREMPULU. (ingat bahwa yang disetujui kelak dengan nama Kabupaten
Dati II Enrekang mungkin karena latar belakang historisnya). Adapun
pernyataan resolusi tesebut :
-
Pernyataan Partai / Ormas Massenrempulu di Enrkeang pad tanggal 27 Agustus 1956.
-
Resolusi Panitia Penuntut Kabupaten Massenrempulu di Makassar pada tanggal 18 Nopember 1956 yang diketuai oleh ALMARHUM Drs. H.M. RISA.
-
Resolusi HIKMA di Pare pare tanggal 29 Nopember 1956.
- Resolusi Raja-raja (ARUM PARPOL / ORMAS MASSENREMPULU ) di Kalosi PADA tanggal 14 Desember 1956
- Drs. H. M. RISA
- Drs. H. M. THALA
- H. ANDI SANTO
- PALISURI
- H. M. YASIN
- ANDI MARAINTANG
- ANDI BASO NUR RASYID
- ANDI TAMBONE
- BOMPENG RILANGI
- ANRI ENRENG
- ABDUL RAHMAN, BA.
- dan masih banyak lagi tokoh-tokoh lainnya yang belum sempat disebutkan satu persatu.
Berdasarkan PP No. 34 Tahun 1962 dan Undang-Undang
NIT Nomor 44 Tahun 1960 Sulawesi terpecah dan sebagai pecahannya
meliputi Administrasi (AFDELING) Parepare yang lebih dikenal dengan nama
Kabupaten Parepare lama, dimana kewedanaan Kabupaten Enrekang adalah
merupakan salah satu daerah diantara 5 (lima) Kewedanaan lainnya.
Selanjutnya dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 29
Tahun 1959 (Lembaran Negara Tahun 1959 Nomor 74 tentang Pembentukan
Daerah Tingkat II di Sulawesi atau daerah Swatantra Tingkat II (DASWATI
II), maka Kabupaten Parepare lama terpecah menjadi 5 (lima) DASWATI II
antara lain :
- DASWATI II ENREKANG
- DASWATI II SIDENRENG RAPPANG
- DASWATI II BARRU
- DASWATI II PINRANG
- DASWATI II PARE PARE
Kelima gabungan darah tersebut dari dulu dikenal dengan nama : AFDELING PAREPARE.
Dengan terbentuknya DASWATI II ENREKANG berdasarkan
Undang-Undang Nomor : 29 Tahun 1959, maka sebagai tindak lanjut pada
tanggal 19 februari 1960 dilantiklah saudara H. ANDI BABBA MANGOPO
sebagai Bupati yang pertama dan hari terbentuknya DASWATI II Enrekang
atau KABUPATEN ENREKANG berdasarkan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1959
tentang Pemerintahan Daerah.
Pemerintahan Sekarang
Sehubungan dengan ditetapkannya Perda Nomor : 4,5,6
dan 7 tahun 2002 tanggal 20 Agustus 2002 tentang Pembentukan 4 (empat)
Kecamatan Definitif dan Perda Nomor 5 dan 6 Tahun 2006 tentang
Pembentukan 2 Kecamatan sehingga pada saat ini enrekang telah memiliki
11 (sebelas ) Kecamatan yang defenitif yaitu :
- Kecamatan Enrekang ibukotanya Enrekang
- Kecamatan Maiwa ibukotanya Maroangin
- Kecamatan Anggeraja ibukotanya Cakke
- Kecamatan Baraka ibukotanya Baraka
- Kecamatan Alla ibukotanya Belajen
- Kecamatan Curio ibukotanya Curio
- Kecamatan Bungin ibukotanya Bungin
- Kecamatan Malua ibukotanya Malua
- Kecamatan Cendana ibukotanya Cendana
-
Kecamatan Buntu Batu ibukotanya Pasui hasil pemekaran dari Kecamatan Baraka diresmikan oleh Bapak Bupati Enrekang yang dihadiri Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan pada tanggal 19 Januari 2007.
- Kecamatan Masalle ibukotanya Lo’ko hasil pemekaran dari Kecamatan Alla.
Selanjutnya dari 11 (sebelas) Kecamatan Defenitif
terdapat 112 (seratus dua belas ) desa / kelurahan, yang terdiri dari 17
Kelurahan dan 95 desa.
sumber ALM. ABD. MANNAN TUPPU
Kisah Dibalik Gunung Nona
Buttu Kabobong atau Gunung Nona adalah nama sebuah gunung unik yang terletak di Kabupaten Enrekang. Tepatnya di poros jalan dari arah Rappang, Kabupaten Sidrap. Dikatakan unik karena bentuk gunung ini menyerupai alat reproduksi wanita dan dipastikan hanya satu-satunya di dunia. Selain unik dan penuh daya tarik, gunung ini juga ternyata punya legenda yang secara turun temurun menyisakan berbagai versi, namun pada prinsipnya mengandung makna yang sama, yakni pesan moral dari para leluhur setempat tentang pantangan keras untuk melakukan hubungan suami istri di luar nikah. Kisah di bawah ini adalah salah satu versi yang dihimpun dari berbagai sumber sebagaimana berikut :
Pada zaman dahulu kala, di kaki Gunung Bambapuang terdapat suatu kerajaan tua yang bernama Kerajaan Tindalaun. Sementara di dalam kerajaan itu sendiri terdapat sebuah perkampungan kecil yang juga dinamai Tindalun. Konon pada suatu ketika, datanglah seorang yang disebut To Mellaorilangi’ (orang yang turun dair langit) atau yang dalam istilah lainnya disebut To Manurung di Kampung Tindalun yang terletak di sebelah selatan Gunung Bambapuang tersebut. To Manurung ini juga menurut riwayatnya konon datang dari Tangsa, yaitu sebuah daerah di Kabupaten Tana Toraja. Mulanya, di Tangsa ada seorang ibu muda cantik bernama Masoang yang mempunai lima orang anak. Entah karena apa, kelima anak Masoang itu terbagi-bagi. Yakni dua orang ke Tana Toraja Barat, dua lainnya tinggal di Tangsa, kemudian yang satu orang lagi dianggap menghilang karena kepergiaannya tidak diketahui.
Beberapa hari kemudian tak jauh dari sebuah perkampungan, pada suatu malam, masyarakat Tindalun melihat ada seonggok api yang menyala seolah tak ada padamnya. Karena didorong rasa keingitahuan, masyarakat lalu mencoba mendekati sumber nyala api tersebut. Dan ternyata, tak jauh dari situ ada anak laki-laki yang rupawan, ganteng serta kulitnya putih bersih. Bahkan menurut penilaian masyarakat Tindalun ketika itu, selain ganteng , anak itu juga memiliki ciri sebagia anak To Malabbi’. Karenanya, si anak yang tidak diketahui asal usulnya itu lalu diambil dan dibawa ke Kampung Tindalun. Boleh jadi anak inilah yang disebut sebagai To Manurung.
Ringkas cerita, ketika si anak lelaki tersebut menginjak dewasa, ia lalu dikawinkan dengan salah seorang putri raja Kerajaan Tindalun yang sangat cantik. Di mana setelah pesta perkawinan yang semarak dan yang dilaksanakn secara adat istiadat setempat itu, masyarakat pun secara spontan lalu membuatkan sebuah istana baru bagi pasangan ini. Karena menganggap perkawinan itu adalah penyatuan dari anak seorang raja dengan To Mellaorilangi’ atau To Manurung.
Selanjutnya dari perkawinan itu, lahirlah putra mereka yang diberi nama Kalando Palapana, kemudian dinobatkan sebagai Raja Tindalun. Dia memerintah beberapa perkampuangan di situ.
Seperti diketahui, Tindalun ini merupakan wilayah yang ketika itu amat kaya dengan sumber daya alamnya. Setiap musim panen, masyarakat sangat bersuka ria karena hasil pertanian mereka selalu melimpah ruah. Itu sebabnya kehidupan masyarakat Tindalun rata-rata makmur dan sejahtera. Cuma sayangnya, kondisi inilah yang membuat mereka lantas lupa diri. Suasana hura-hura nyaris tak terlewatkan setiap saat. Bukan hanya itu, konon karena kekayaan yang dimiliki, perangai masyarakatpun banyak yang mulai berubah.
Tatanan perilaku yang selama ini sangat menjunjung tinggi budaya dan adat istiadat leluhur, mulai bergeser. Kehidupan pergaulan bebas pun kabarnya sempat mewarnai hari-hari mereka. Dengan kata lain, perubahan strata ekonomi yang begitu pesat ketika itu, menjadikan masyarakat Tindalun seolah lupa dengan jati dirinya.
Lalu bagaimana dengan Raja Kalando Palapana atas kejadian itu?, tentu saja sangat gusar. Raja muda ini kemudian memanggil para tetua adat untuk dimintai pertanggung jawabannya, sekaligus memerintahkan agar segera mengatasinya. Raja sangat kuatir jika perbuatan menyimpang yang dilakukan masyarakatnya itu dibiarkan, maka akan mendapat azab dari Tuhan Sang Pencipta Alam.
Memang menurut kisahnya, para tetua adat tersebut telah melaksanakan titah sang raja untuk menghentikan perilaku menyimpang masyarakat itu. Namun jangankan berhenti, malah sebaliknya perbuatan masyarakat itu semakin menjadi-jadi. Hubungan intim di luar nikah seakan menjadi hal yang rutin tanpa bisa dicegah. Larangan berdasarkan agama dan adat istiadat, bagai tak digubris, khususnya bagi masyarakat yang tinggal di sebelah timur ibukota kerajaan.
Karena sulit dicegah, maka suatu hari Raja Tindalun mengundang para pejabat kerajaan dan tetua adat untuk melakukan pembahasan secara khusus. Di mana kesimpulan dari hasil pembahasan yang digelar di atas bukti sekitar. Tindalun itu, antara lain menyebutkan akan memberi sanksi dan hukuman seberat-beratnya bagi siapa saja tanpa kecuali yang kedapatan melakukan hubungan suami istri diluar nikah. Namun apa lacur?, lagi-lagi masyarakat tidak peduli. Hubungan bebaspun bukan hanya pada malam hari dilakukan, tapi disiang bolong pun perbuatan itu dilakukan. Ibaratnya, masyarakat seperti sudah kehilangan akhlak dan moralnya. Celakanya lagi, penyakit masyarakat ini bahkan sempat mewabah di kalangan kerabat kerajaan menyusul terlibatnya salah seorang anak raja Tindalun.
Kabarnya, pasangan selingkuh anak raja Tindalun dimaksud adalah anak gadis dari salah seorang tetua adat setempat. Yang akhirnya, pada malam kejadian itu, ketika kedua anak manusia ini sedang hanyut dalam kenikmatan hubungan intim di luar nikah, sekonyong-konyong datang bencana yang memporakporandakan wilayah kerajaan Tindalun. Rupanya Tuhan telah menunjukkan murkanya. Mereka yang selama ini tak mau lagi mendengar titah rajanya, dan gemar melakukan hubungan intim di luar nikah, semua dilaknat menjadi bukit-bukit. Di antaranya ada yang menyerupai kelamin wanita.
Gunung yang menghadap ke barat dan terletak di sebelah timur Gunung Bambapuang inilah yang kemudian dikenal dengan sebutan Buttu Kabobong. Sedangkan pada sebelah barat Buttu Kabobong, terdapat pula gunung yang menjorok ke seberang menghampiri pusat Buttu Kabobong. Gunung ini bentuknya menyerupai “maaf” alat kelamin laki-laki. Antara kedua gunung ini dibatasi oleh sebuah anak sungai.
Demikian sekelumit legenda tentang Buttu Kabobong, yang jika ditelaah, sesungguhnya mempunyai pesan moral agar umat manusia di mana pun, tidak melakukan hubungan suami istri di luar nikah. Karena hal itu merupakan perbuatan zinah yang sangat dilarang oleh agama. Hukumnya adalah dosa besar.
Sumber : enrekang.net google search
Berita Unuk & Heboh yang lain ( Klik Disini )
SEJARAH BAMBAPUANG
KERAJAAN TERTUA DI SULAWESI SELATAN
( Oleh Muh. Muchtar Ro-e )
( Oleh Muh. Muchtar Ro-e )
LETTOMI ERAN DILANGI TALLANGMI LONDONGNA LURA (Patahlah tangga ke langit Tenggelamlah Kerajaan Bambapuang di Lura) Pada umumnya kerajaan di Sulawesi Selatan mengenal istilah TOMANURUNG dimana pada lontara di Endekan Massenrempulu Tomanurung di Bambapuang yang memerintah dan bersemayam di Puncak gunung Bambapuang dimana pada zaman itu/zaman Prasejarah gunung Bambapuang merupakan gunung yang tertinggi di Sulawesi Selatan. Di atas puncak gunung Bambapuang oleh Dewata telah menurunkan tiga orang Tomanurung yang diutus ke bumi dan berkembang menjadi keluarga besar. Ketiga Tomanurung tersebut masing-masing Tomanurung Wellangdilangi, Tomanurung Tamborolangi dan Tomanurung Embongbulan(wanita).
Bahwa umur manusia pada zaman itu rata-rata dapat mencapai sampai seribu tahun, maka ketiga Tomanurung tersebut setelah dewasa mereka mempunyai rencana untuk hidup mandiri. Pada suatu hari ketiganya meminta kepada Dewata agar mereka dapat meninggalkan puncak gunung Bambapuang dan sekaligus meminta diberi bekal kehidupan di dunia dan oleh Dewata ditetapkan sebagai berikut:
1. Tomanurung Wellangdilangi tetap tinggal di puncak Bambapuang dan kepadanya diberikan bekal untuk hidup di dunia berupa makanan yang cepat basi(padi). Tomanurung Wellangdilangi kawin dengan Maccirangka dan keluarga inilah yang turun temurun dan merupakan turunan keluarga raja-raja dari Bugis Makassar dan Mandar.
2. Tomanurung Tamborolangi diberi kesempatan boleh meninggalkan puncak gunung Bambapuang dan memilih menuju ke negeri Matarikkallo/Tana Toraja disana kawin dengan Sondabilik yang telah menjadi turunan raja-raja di Matarikkallo/Tana Toraja/Puang Makale.
3. Tomanurung Embongbulan/wanita diberi kesempatan meninggalkan puncak gunung Bambapuang dan memilih menyeberangi lautan dan menuju Kaluppini disana kawin dengan Palippada dan inilah menjadi turunan-turunan Sawerigading dan raja-raja di Luwu(Palopo).
Adapun Tomanurung Wellangdilangi yang menetap di puncak Bambapuang kawin dengan Maccirangka anak-anak mereka dapat kawin bersaudara dan ini berlangsung sampai ke generasi ketujuh.
Setelah generasi ketujuh inilah mereka telah berkembang menjadi keluarga
besar maka oleh Dewata diberikan ketentuan sebagai berikut:
1. Tidak diperkenankan lagi kawin bersaudara tetapi boleh kawin dengan
sepupu-sepupu sekali.
2. Apabila terjadi pelanggaran tersebut maka akan terjadi musibah dan
gunung Bambapuang akan tumbang.
3. Kelak dimana puncak Bambapuang tumbang maka rakyat disana akan tetap memegang Aluk Tojolo serta mereka menjadikan negeri kaya, ternyata puncak gunung Bambapuang tumbang persis sampai di negeri Matarikkallo/Tana Toraja yang tetap memegang Aluk Tojolo sampai sekarang ini. Peristiwa perintah Dewata yang dikenal dengan SUMPAH: ENDEKAN TANA DIGALLA TANA DIKABUSUNGGI artinya Siapa saja yang memerintah di Endekan haruslah bertindak arif dan bijaksana, hidup bersama rakyat dan apabila melanggar sumpah tersebut maka ia akan takut, binggung dan gelisah di dalam menghadapi masa depan.
Alkisah, pada generasi ketujuh ini terjadi percintaan antara seorang putri raja Dileluwa dengan seorang putra raja Dimendatte/daerah pinggiran pantai pada waktu itu. Percintaan mereka sangat erat sekali sehingga kasih sayang mereka ini dijabarkan dalam syair rakyat pada waktu itu sebagai berikut:
Tangkendaunmi tolamba Tangkencolli cendana Naoladundu Naletei ceppaga Ceppagana rileluwa Sappangna rimendate Sidendang-dendang Tamabamba suruga
Suruganna bambapuang Angina buntu gajang Simbongimai Angkualako pammai Pa’mai dilamun batu Dilamun lantangnga tondok Burukkibatu Tangburuk topenawa
Artinya dalam bahasa Indonesia Habislah daun pohon lamba Tak berpucuklah pohon cendana Dilalui ayam betina Dan ayam jantan Ayam betina dari Leluwa Ayam jantan dari Mendatte Berkasih-kasihan Menuju pintu surga Surga di gunung Bambapuang Angin sepoi-sepoi dari Buntu Gajang Bertiuplah engkau Untuk ku jadikan pelipur lara Budi baik dikubur bersama batu Dikubur ditengah rumah Hancurlah batu Tidak akan hancur budi baik
Artinya dalam bahasa Indonesia Habislah daun pohon lamba Tak berpucuklah pohon cendana Dilalui ayam betina Dan ayam jantan Ayam betina dari Leluwa Ayam jantan dari Mendatte Berkasih-kasihan Menuju pintu surga Surga di gunung Bambapuang Angin sepoi-sepoi dari Buntu Gajang Bertiuplah engkau Untuk ku jadikan pelipur lara Budi baik dikubur bersama batu Dikubur ditengah rumah Hancurlah batu Tidak akan hancur budi baik
Oleh karena percintaan mereka sudah sangat intim sekali maka disepakatilah
oleh kedua belah pihak keluarga untuk diadakan perkawinan.
Perkawinan ini berlangsung di Lura di kaki gunung Bambapuang selama tujuh hari tujuh malam dengan pesta yang sangat meriah sehingga kedua belah pihak keluarga semua turut bersuka cita.
Pada hari ketujuh saat pesta perkawinan sudah akan berakhir kedua belah pihak keluarga baru mengingat akan pesan Dewata dari puncak gunung Bambapuang bahwa perkawinan bersaudara dilarang, oleh karena itu silsilah keluarga kedua pengantin tersebut ditelusuri dan pada akhirnya diketahui dengan jelas bahwa kedua sejoli tersebut ternyata masih saudara satu Bapak.
Oleh karena itu adalah merupakan suatu pelanggaran dari perintah Dewata di puncak gunung Bambapuang maka tiba-tiba keadaan berubah menjadi gempa, turun hujan deras, terjadi ombak yang besar disertai gemuruh kilat. Hal ini berganti siang dan malam selama kurang lebih 40 hari 40 malam.
Pada malam terakhir malam ke 40 maka gunung Bambapuang yang menjulang tinggi ke langit tumbang dan puncak gunung Bambapuang persis jatuh di negeri Matarikkalo/Tana Toraja, karena pelanggaran tersebut pulalah maka kerajaan yang ada di Bambapuang tenggelam pada waktu itu yang sampai sekarang dinamakan kampung Lura, Bambapuang (sekarang masih terdapat danau di Lura).
Dalam bahasa Endekan peristiwa tersebut diperingati dengan istilah :
LETTOMI ERANDILANGI TALLANGMI LONDONGNA LURA.
Pada waktu gunung Baambapuang tumbang penduduk lari menuju ke negeri Matarikkallo/Tana Toraja dan didalam perjalanan mereka, apabila ada penduduk atau binatang yang menoleh kebelakang melihat gunung Bambapuang semuanya berubah menjadi batu dan peninggalan tersebut sampai sekarang masih ada di kampung Kota/berdekatan dengan kampung Cakke, Saruran.
Penduduk yang lari dan sampai di negeri Matarikkallo/Tana Toraja mereka tetap memegang adat Aluk Tojolo sesuai pesan yang berasal dari puncak gunung Bambapuang dengan melaksanakan acara Rambusolo atau pesta kematian, acara ini dilaksanakan secara besar-besaran dan ini berlangsung sampai saat ini.
Penduduk di Matarikkallo/Tana Toraja dalam acara Rambutuka atau pesta perkawinan hanya dilaksanakan dalam acara yang sangat sederhana karena apabila diadakan secara besar-besaran maka mereka takut mandapatkan kutukan sama yang terjadi di Lura Bambapuang.
oleh kedua belah pihak keluarga untuk diadakan perkawinan.
Perkawinan ini berlangsung di Lura di kaki gunung Bambapuang selama tujuh hari tujuh malam dengan pesta yang sangat meriah sehingga kedua belah pihak keluarga semua turut bersuka cita.
Pada hari ketujuh saat pesta perkawinan sudah akan berakhir kedua belah pihak keluarga baru mengingat akan pesan Dewata dari puncak gunung Bambapuang bahwa perkawinan bersaudara dilarang, oleh karena itu silsilah keluarga kedua pengantin tersebut ditelusuri dan pada akhirnya diketahui dengan jelas bahwa kedua sejoli tersebut ternyata masih saudara satu Bapak.
Oleh karena itu adalah merupakan suatu pelanggaran dari perintah Dewata di puncak gunung Bambapuang maka tiba-tiba keadaan berubah menjadi gempa, turun hujan deras, terjadi ombak yang besar disertai gemuruh kilat. Hal ini berganti siang dan malam selama kurang lebih 40 hari 40 malam.
Pada malam terakhir malam ke 40 maka gunung Bambapuang yang menjulang tinggi ke langit tumbang dan puncak gunung Bambapuang persis jatuh di negeri Matarikkalo/Tana Toraja, karena pelanggaran tersebut pulalah maka kerajaan yang ada di Bambapuang tenggelam pada waktu itu yang sampai sekarang dinamakan kampung Lura, Bambapuang (sekarang masih terdapat danau di Lura).
Dalam bahasa Endekan peristiwa tersebut diperingati dengan istilah :
LETTOMI ERANDILANGI TALLANGMI LONDONGNA LURA.
Pada waktu gunung Baambapuang tumbang penduduk lari menuju ke negeri Matarikkallo/Tana Toraja dan didalam perjalanan mereka, apabila ada penduduk atau binatang yang menoleh kebelakang melihat gunung Bambapuang semuanya berubah menjadi batu dan peninggalan tersebut sampai sekarang masih ada di kampung Kota/berdekatan dengan kampung Cakke, Saruran.
Penduduk yang lari dan sampai di negeri Matarikkallo/Tana Toraja mereka tetap memegang adat Aluk Tojolo sesuai pesan yang berasal dari puncak gunung Bambapuang dengan melaksanakan acara Rambusolo atau pesta kematian, acara ini dilaksanakan secara besar-besaran dan ini berlangsung sampai saat ini.
Penduduk di Matarikkallo/Tana Toraja dalam acara Rambutuka atau pesta perkawinan hanya dilaksanakan dalam acara yang sangat sederhana karena apabila diadakan secara besar-besaran maka mereka takut mandapatkan kutukan sama yang terjadi di Lura Bambapuang.
HUBUNGAN KELUARGA ENDEKAN BAMBAPUANG DENGAN KELUARGA MATARIKKALLO/TANA TORAJA Keluarga Tomanurung Wellangdilangi dari generasi ke generasi berkembang terus dan melalui proses alamiah air laut yang tadinya di kampung Mendatte menjadi surut dan timbullah kota Endekan, Rappang, Parepare, dan kota lainnya di Sulawesi Selatan maka lahirlah seorang di Endekan di kampung Lekkong dengan nama Puang Tomaraju anak puang kota gelar La tanro Puang Butu. Demikian pula keluarga Tomanurung Tamboralangi di negeri Matarikkallo/Tana Toraja berkembang terus dari generasi ke generasi sehingga pada suatu saat lahirlah seorang putri dari turunan Puang Makale/Sangngalla yang bernama Puang Landorundun yang cantik. Pada suatu hari putri Puang Landorundun mandi di sungai Sa’dang dan sesudah mandi rambutnya dimasukkan dalam kendi terbuat dari buah bila dan dialirkan melalui sungai Saddang, sungai ini mempunyai pertemuan dengan sunga Mataallo di Endekan dan oleh Puang Tomaraju di Endekan pada suatu waktu sempat mengambil kendi tersebut dan didapatkan berisi rambut yang panjangnya 7 depa 7 hasta dan 7 jengkal. Setelah itu Puang Tomaraju Puang Endekan ke I dari Endekan segera menelusuri sungai Saddang sampai ke negeri Matarikkallo/Tana Toraja dan sempat bertemu dengan Putri Puang Landorundun akhirnya keduanya dapat hidup berkeluarga dimana pada akhirnya mereka berdua meninggal dan dikebumikan di Endekan. Dari perkawinan Puang Tomaraju dengan Puang Landorundun maka mendekatlah kembali hubungan kekeluargaan Endekan Bambapuang/Wellangdilangi dengan keluarga Tamborolangi/Puang Makale di negeri Matarikkallo/Tana Toraja.
HUBUNGAN KELUARGA ENDEKAN BAMBAPUANG DENGAN RAJA-RAJA BONE DAN GOWA Pada waktu bapak Andi Pangerang Pettarani menjadi gubernur Sulawesi Selatan maka oleh keluarga Puang Makale berkeinginan untuk menjalin hubungan kekeluargaan. Pada waktu itu diadakan lamaran oleh keluarga Puang Makale dari Matarikkallo/Tana Toraja tetapi pinangan mereka sementara ditolak karena belum jelas antara keluarga Gowa dengan keluarga Puang Makale. Karena penolakan tersebut maka dihubungi La Sellang Puang Tobalu dan La Tangsa yang merupakan keluarga terdekat dari Puang Makale Matarikkallo/Tana Toraja. Olehnya itu maka diutuslah La Sellang Puang Tobalu bersama la Tangsa bekas Sulawetang Endekan Ro-E Puang Papi melakukan pelamaran kepada Bapak Andi Pangerang Pettarani yang dihadiri juga Bapak Karaengijo Andi La Loang raja Gowa. Dalam pertemuan tersebut La Sellang Puang Tobalu menjelaskan bahwa keluarga Puang Makale masih mempunyai hubungan kekeluargaan dengan keluarga raja Gowa dan Bone dari nenek moyang mereka dari Bambapuang ialah turunan Tomanurung Wellangdilangi dan turunan Tomanurung Tamborolangi dijelaskan pula oleh La Sellang Puang Tobalu dalam bahasa Bugis sebagai berikut:
Degaga Gowa nakko degaga Bone nadetto gaga Bone narekko Luwu nadetto gaga Luwu narekko degaga Matarikkallo/Toraja nadetto gaga Matarikkallo/Toraja narekko degaga Endekan Bambapuang.
Degaga Gowa nakko degaga Bone nadetto gaga Bone narekko Luwu nadetto gaga Luwu narekko degaga Matarikkallo/Toraja nadetto gaga Matarikkallo/Toraja narekko degaga Endekan Bambapuang.
Artinya dalam bahasa Indonesia:
Tidak ada kerajaan Gowa kalau tidak ada kerajaan Bone dan tidak ada kerajaan Bone kalau tidak ada kerajaan Luwu serta tidak ada kerajaan Luwu kalau tidak ada kerajaan Matarikkallo/Tana Toraja tidak ada kerajaan Matarikkallo/Tana Toraja kalau tidak ada kerajaan Endekan di Bambapuang.
Ini berarti bahwa semua kerajaan yang ada di Sulawesi Selatan masih mempunyai hubungan keluarga dengan keluarga kerajaan di Bambapuang. Dengan adanya penjelasan tersebut maka oleh keluarga raja Gowa yang diwakili oleh Andi Pangerang Pettarani langsung menyatakan bahwa lamaran keluarga dari Matarikkallo/keluarga Puang Makale Bapak Puang Tandilangi dapat diteima dan perkawinan berlangsung atas dasar kekeluargaan kedua belah pihak. Menurut Prof. Dr. Andi Zainal Abidin kerajaan tertua di Sulawesi Selatan terdapat di Bambapuang yang merupakan asal turunan raja-raja di Sulawesi Selatan. Demikian sekilas sejarah Bambapuang yang dapat disampaikan pada malam SURUGANNA BAMBAPUANG pada acara di Taman Mini Indonesia Indah tanggal 15 April 1995
Tidak ada kerajaan Gowa kalau tidak ada kerajaan Bone dan tidak ada kerajaan Bone kalau tidak ada kerajaan Luwu serta tidak ada kerajaan Luwu kalau tidak ada kerajaan Matarikkallo/Tana Toraja tidak ada kerajaan Matarikkallo/Tana Toraja kalau tidak ada kerajaan Endekan di Bambapuang.
Ini berarti bahwa semua kerajaan yang ada di Sulawesi Selatan masih mempunyai hubungan keluarga dengan keluarga kerajaan di Bambapuang. Dengan adanya penjelasan tersebut maka oleh keluarga raja Gowa yang diwakili oleh Andi Pangerang Pettarani langsung menyatakan bahwa lamaran keluarga dari Matarikkallo/keluarga Puang Makale Bapak Puang Tandilangi dapat diteima dan perkawinan berlangsung atas dasar kekeluargaan kedua belah pihak. Menurut Prof. Dr. Andi Zainal Abidin kerajaan tertua di Sulawesi Selatan terdapat di Bambapuang yang merupakan asal turunan raja-raja di Sulawesi Selatan. Demikian sekilas sejarah Bambapuang yang dapat disampaikan pada malam SURUGANNA BAMBAPUANG pada acara di Taman Mini Indonesia Indah tanggal 15 April 1995
Langganan:
Postingan (Atom)